Baiklah, harus kita mulai dari mana tulisan ini. Layaknya tulisan
yang lahir dari jemari pemula lainnya, aku ingin tarian kata-kataku
dapat terus menyekap matamu, hingga kemudian kau tidak punya waktu untuk
mengalihkan pandangan, sebab kau tidak ingin melewatkan satu tarianpun
dari ritme hentakan kata-kataku
Kerap aku membayangkan kata-kata adalah penari balet. Dan buku, yang
dapat diterjemahkan dalam bentuk apapun itu, adalah panggung tempat
mereka menarikan kaki-kaki mungilnya. Mungkin ini terlalu berlebihan,
tapi tidak jika pementasan yang kami, aku dan penariku yang lincah,
digelar dan mendapat sorotan banyak kamera. Ini semacam perasaan buku
yang terpajang pada leret terlaris di toko buku besar; mencengangkan.
Kata-kataku adalah balerina, dua puluh enam jumlahnya. Amat banyak,
tak heran mereka mampu menyusun ratusan formasi, bahkan ribuan. Ah, aku
bahkan tak hafal dan kenal tiap formasi yang mereka bentuk. Pernah satu
waktu mereka menari tanpa henti selama dua jam. Kala itu kunamai
formasinya sebagai “tarian ujian semester”. Ritmenya amat sulit,
berkali-kali aku melihat mereka berhenti. Entah itu hanya untuk sekedar
beristirahat, atau jangan-jangan balerinaku malah tidak hafal dengan
tariannya sendiri. Benar-benar dua jam yang menguras tenaga kala itu.
Ada pula suatu ketika mereka berdansa dengan berjinjit. Berlari-lari
kecil, seakan badannya ringan, seringan daun jatuh yang tidak pernah
membenci angin kata tere liye. Sebahagia dahan yang menyambut mentari
pagi, dan selega hati yang rindunya terlunaskan. (untuk kalimat yang
terakhir, anggap saja kau tidak membacanya)
Jinjit kecil mereka sering kupentaskan. Kami paling sering
mementaskan “formasi jinjit kecil” ini (begitu aku menyebutnya) di
panggung bernama twitter, alamatnya tidak jauh dari gerbang internet. Di
twitter, mereka menari sesukanya. Tentu saja aku sudah melatih mereka
sedemikian rupa agar penampilan kami dapat mengesankan yang menjadi
saksi mata.
Luna, lain masa aku akan mengajakmu mengenal mereka satu persatu.
Lain masa pula, akan kuceritakan banyak tentang mereka. Ini semacam
perasa awal, agar kau mau sesekali mengingatkanku, bahwa ada kamu yang
setia menyaksikan tarianku.
Hormatku, pria yang kesulitan menulis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar