Sabtu, 08 Juni 2013

balerina dan pria yang sulit menulis

Image
 
Baiklah, harus kita mulai dari mana tulisan ini. Layaknya tulisan yang lahir dari jemari pemula lainnya, aku ingin tarian kata-kataku dapat terus menyekap matamu, hingga kemudian kau tidak punya waktu untuk mengalihkan pandangan, sebab kau tidak ingin melewatkan satu tarianpun dari ritme hentakan kata-kataku
 
Kerap aku membayangkan kata-kata adalah penari balet. Dan buku, yang dapat diterjemahkan dalam bentuk apapun itu, adalah panggung tempat mereka menarikan kaki-kaki mungilnya. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi tidak jika pementasan yang kami, aku dan penariku yang lincah, digelar dan mendapat sorotan banyak kamera. Ini semacam perasaan buku yang terpajang pada leret terlaris di toko buku besar; mencengangkan.

Kata-kataku adalah balerina, dua puluh enam jumlahnya. Amat banyak, tak heran mereka mampu menyusun ratusan formasi, bahkan ribuan. Ah, aku bahkan tak hafal dan kenal tiap formasi yang mereka bentuk. Pernah satu waktu mereka menari tanpa henti selama dua jam. Kala itu kunamai formasinya sebagai “tarian ujian semester”. Ritmenya amat sulit, berkali-kali aku melihat mereka berhenti. Entah itu hanya untuk sekedar beristirahat, atau jangan-jangan balerinaku malah tidak hafal dengan tariannya sendiri. Benar-benar dua jam yang menguras tenaga kala itu.
 
Ada pula suatu ketika mereka berdansa dengan berjinjit. Berlari-lari kecil, seakan badannya ringan, seringan daun jatuh yang tidak pernah membenci angin kata tere liye. Sebahagia dahan yang menyambut mentari pagi, dan selega hati yang rindunya terlunaskan. (untuk kalimat yang terakhir, anggap saja kau tidak membacanya)
 
Jinjit kecil mereka sering kupentaskan. Kami paling sering mementaskan “formasi jinjit kecil” ini (begitu aku menyebutnya) di panggung bernama twitter, alamatnya tidak jauh dari gerbang internet. Di twitter, mereka menari sesukanya. Tentu saja aku sudah melatih mereka sedemikian rupa agar penampilan kami dapat mengesankan yang menjadi saksi mata.
 
Luna, lain masa aku akan mengajakmu mengenal mereka satu persatu. Lain masa pula, akan kuceritakan banyak tentang mereka. Ini semacam perasa awal, agar kau mau sesekali mengingatkanku, bahwa ada kamu yang setia menyaksikan tarianku.

Hormatku, pria yang kesulitan menulis 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar