Rabu, 23 Oktober 2013

KESOMBONGAN MANUSIA



Nasrudin muncul di balairung istana dengan memakai turban indah untuk meminta sumbangan.
“kau datang ke sini meminta sumbangan, tapi kau memakai turban yang sangat mahal. Berapa harga turban indah itu” tanya Sultan.
“ini hadiah dari orang yang sangat kaya. Kalau tidak salah, harganya lima ratus koin emas,” jawab sufi bijak tersebut.
Patih yang berada di tempat itu bergumam: “Mustahil. Tidak ada turban yang harganya semahal itu”.
Nasrudin berkeras, “aku datang ke sini bukan hanya untuk meminta-minta. Aku datang ke sini untuk berbisnis.
Aku tahu hanya penguasa sejati yang sanggup membeli turban ini seharga enam ratus koin emas sehingga aku bisa memberikan kelebihannya pada orang miskin.”
Sang Sultan tersanjung dan membayar sejumlah uang yang Nasrudin minta. Di pintu keluar, Nasrudin berkata pada sang patih:
 “Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan manusia.”

Cerita di atas adalah potongan tulisan yang saya ambil dari buku Paulo Coelho yang berjudul The Winner Stands Alone. Sebuah buku yang mengisahkan tentang seorang Igor, pengusaha kaya raya asal Rusia yang berusaha mendapatkan kembali istrinya, cintanya yang pergi bersama lelaki lain. Namun tulisan ini tidak membahas tentang buku tersebut, saya lebih tertarik membahas tentang penggalan cerita yang saya sampaikan di awal, terutama pada kalimat akhir: “Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan manusia.”
Benar. Bahwa kesombongan manusia tanpa disadari telah membawa umat manusia ke banyak hal yang sudah tidak lagi dapat dicerna oleh logika. Kesombongan manusia telah mengubah orang-orang yang mematuhinya menjadi budak dunia, menjadi kanker bagi kehidupan lingkungannya, dan perlahan memakan dirinya sendiri, membunuh jati diri manusia yang sesungguhnya.
Saya berikan analogi sederhana dan mirip dengan kisah diatas. Berapa banyak diantara kita yang membeli pakaian, bukan merk? Adakah diantara kita yang benar-benar membeli baju hanya karena menyukainya, bukan karena embel-embel label yang melekat bersamanya?
Kesombongan telah menelan kita. Ia menjelma nyata melalui sepotong baju berbahan dasar kapas yang kita kenakan, namun karena bertuliskan merk terkemuka, ada yang rela merogoh kocek dalam-dalam, demi mengenakan label tersebut. Padahal ia tahu persis, bahwa baju mahal yang ia beli tersebut kualitasnya tidak lebih baik dari label yang menjual produknya dengan harga setengah lebih murah.
Mau contoh lebih konkrit lagi? Baik, akan saya berikan. Sebutlah sebuah perusahaan telepon genggam. Baru-baru ini mereka mengeluarkan varian produk terbarunya yang berlapis ermas dan bermandikan permata dengan banderol Rp.450.000.000. sebuah angka yang amat fantastis untuk sebuah alat komunikasi, bukan? Padahal dari segi pengaplikasian teknologi tidak ada yang spesial, bahkan sangat tidak sebanding dengan HP teranyar besutan Apple sekalipun. Tidak memiliki retina display, kamera belakang 8MP, depan 2MP, serta tidak pula memiliki layar sentuh. Menyedihkan. Lantas apa yang membuat produsen HP mewah tersebut amat yakin produknya akan laku di pasaran –sebagaimana yang terjadi selama ini-?
Sekali lagi, kesombongan. Produsen tahu benar dampak dahsyat dari perasaan sombong. dengan membubuhkan kalimat bahwa ponsel tersebut dibuat terbatas dan handmade, ia mengusik perasaan angkuh dan sombong para kaum milyarder untuk memiliki produk terbarunya. Mereka yang sudah tidak lagi tahu dikemanakan lagi uangnya, akan berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi dari lingkungan.
Maka disinilah merk-merk mahal dan barang-barang dengan harga tidak masuk akal sebagaimana HP (atau mungkin baju yang kamu kenakan sekarang!) tersbut mulai menunjukkan taring. Pangsa pasar barang-barang seperti ini memang tidak luas, sebab tingginya harga sudah mengeliminasi calon peminat. Lantas ketika harga tidak lagi menjadi masalah, dan kecanggihan teknologi tidak bisa mereka (produsen) andalkan, lalu apa nilai jualnya? Benar. Kesombongan. (ah, bahkan saya harus mengucap kata ini berkali-kali)
Mereka yang membeli produk tersebut seakan juga telah memiliki tiket, karcis, hak sepenuhnya untuk berlaku sombong, arogan dan angkuh karena mampu membeli barang yang orang lain bahkan tidak berani bermimpi untuk memilikinya. Para konsumen dari barang-barang mewah tersebut seakan juga telah mengklasifikasikan dirinya ke dalam orang-orang ekslusif, memiliki derajat lebih tinggi dari kaum manapun. Perasaan inilah yang sesungguhnya priceless, dan mereka tanpa sadar telah menghamburkan ratusan lembar uangnya hanya demi eksistensi semu belaka.
Ya, semu. Karena pada masa yang terus berputar, musim yang selalu berganti, zaman yang terus berubah, maka definisi eksistensi yang berkembang di masyarakat juga ikut berubah. Bisa saja di zaman dahulu kala, memiliki puluhan ternak sapi adalah lambang kekayaan dan penegasan eksistensi di masyarakat. Namun lihat sekarang, definisi kaya menjadi sangat relatif. Namun seakan ingin menyeragamkan kekayaan, hukum ekonomi menciptakan uang. Sebuah tolak ukur atas berapa pundi-pundi harta yang kau punya.

Karena Tuhan memiliki segalanya, maka hanya Ia pemilik sifat sombong. Kini, manusia mencoba membelinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar