Nasrudin muncul di balairung istana dengan memakai turban indah untuk
meminta sumbangan.
“kau datang ke sini meminta sumbangan, tapi kau memakai turban yang
sangat mahal. Berapa harga turban indah itu” tanya Sultan.
“ini hadiah dari orang yang sangat kaya. Kalau tidak salah, harganya
lima ratus koin emas,” jawab sufi bijak tersebut.
Patih yang berada di tempat itu bergumam: “Mustahil. Tidak ada turban
yang harganya semahal itu”.
Nasrudin berkeras, “aku datang ke sini bukan hanya untuk meminta-minta. Aku
datang ke sini untuk berbisnis.
Aku tahu hanya penguasa sejati yang sanggup
membeli turban ini seharga enam ratus koin emas sehingga aku bisa memberikan
kelebihannya pada orang miskin.”
Sang Sultan tersanjung dan membayar sejumlah uang yang Nasrudin minta.
Di pintu keluar, Nasrudin berkata pada sang patih:
“Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat
dampak kesombongan manusia.”
Cerita di atas adalah potongan
tulisan yang saya ambil dari buku Paulo Coelho yang berjudul The Winner Stands
Alone. Sebuah buku yang mengisahkan tentang seorang Igor, pengusaha kaya raya asal
Rusia yang berusaha mendapatkan kembali istrinya, cintanya yang pergi bersama lelaki
lain. Namun tulisan ini tidak membahas tentang buku tersebut, saya lebih
tertarik membahas tentang penggalan cerita yang saya sampaikan di awal,
terutama pada kalimat akhir: “Kau mungkin
tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan
manusia.”
Benar. Bahwa kesombongan manusia
tanpa disadari telah membawa umat manusia ke banyak hal yang sudah tidak lagi
dapat dicerna oleh logika. Kesombongan manusia telah mengubah orang-orang yang
mematuhinya menjadi budak dunia, menjadi kanker bagi kehidupan lingkungannya,
dan perlahan memakan dirinya sendiri, membunuh jati diri manusia yang
sesungguhnya.
Saya berikan analogi sederhana dan
mirip dengan kisah diatas. Berapa banyak diantara kita yang membeli pakaian,
bukan merk? Adakah diantara kita yang benar-benar membeli baju hanya karena
menyukainya, bukan karena embel-embel label yang melekat bersamanya?
Kesombongan telah menelan kita. Ia menjelma
nyata melalui sepotong baju berbahan dasar kapas yang kita kenakan, namun
karena bertuliskan merk terkemuka, ada yang rela merogoh kocek dalam-dalam,
demi mengenakan label tersebut. Padahal ia tahu persis, bahwa baju mahal yang
ia beli tersebut kualitasnya tidak lebih baik dari label yang menjual produknya
dengan harga setengah lebih murah.
Mau contoh lebih konkrit lagi? Baik,
akan saya berikan. Sebutlah sebuah perusahaan telepon genggam. Baru-baru ini mereka
mengeluarkan varian produk terbarunya yang berlapis ermas dan bermandikan
permata dengan banderol Rp.450.000.000. sebuah angka yang amat fantastis untuk
sebuah alat komunikasi, bukan? Padahal dari segi pengaplikasian teknologi tidak
ada yang spesial, bahkan sangat tidak sebanding dengan HP teranyar besutan Apple
sekalipun. Tidak memiliki retina display, kamera belakang 8MP, depan 2MP, serta
tidak pula memiliki layar sentuh. Menyedihkan. Lantas apa yang membuat produsen
HP mewah tersebut amat yakin produknya akan laku di pasaran –sebagaimana yang
terjadi selama ini-?
Sekali lagi, kesombongan. Produsen tahu
benar dampak dahsyat dari perasaan sombong. dengan membubuhkan kalimat bahwa
ponsel tersebut dibuat terbatas dan handmade,
ia mengusik perasaan angkuh dan sombong para kaum milyarder untuk memiliki
produk terbarunya. Mereka yang sudah tidak lagi tahu dikemanakan lagi uangnya, akan
berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi dari lingkungan.
Maka disinilah merk-merk mahal dan
barang-barang dengan harga tidak masuk akal sebagaimana HP (atau mungkin baju
yang kamu kenakan sekarang!) tersbut mulai menunjukkan taring. Pangsa pasar
barang-barang seperti ini memang tidak luas, sebab tingginya harga sudah
mengeliminasi calon peminat. Lantas ketika harga tidak lagi menjadi masalah,
dan kecanggihan teknologi tidak bisa mereka (produsen) andalkan, lalu apa nilai
jualnya? Benar. Kesombongan. (ah, bahkan saya harus mengucap kata ini berkali-kali)
Mereka yang membeli produk tersebut
seakan juga telah memiliki tiket, karcis, hak sepenuhnya untuk berlaku sombong,
arogan dan angkuh karena mampu membeli barang yang orang lain bahkan tidak
berani bermimpi untuk memilikinya. Para konsumen dari barang-barang mewah
tersebut seakan juga telah mengklasifikasikan dirinya ke dalam orang-orang
ekslusif, memiliki derajat lebih tinggi dari kaum manapun. Perasaan inilah yang
sesungguhnya priceless, dan mereka
tanpa sadar telah menghamburkan ratusan lembar uangnya hanya demi eksistensi
semu belaka.
Ya, semu. Karena pada masa yang
terus berputar, musim yang selalu berganti, zaman yang terus berubah, maka
definisi eksistensi yang berkembang di masyarakat juga ikut berubah. Bisa saja di
zaman dahulu kala, memiliki puluhan ternak sapi adalah lambang kekayaan dan penegasan
eksistensi di masyarakat. Namun lihat sekarang, definisi kaya menjadi sangat
relatif. Namun seakan ingin menyeragamkan kekayaan, hukum ekonomi menciptakan
uang. Sebuah tolak ukur atas berapa pundi-pundi harta yang kau punya.
Karena Tuhan memiliki segalanya, maka hanya Ia pemilik sifat sombong. Kini, manusia mencoba membelinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar