Minggu, 07 September 2014

mengumpulkan remah-remah tenaga

Tidak bisa biasa.
 
Akhir-akhir ini saya sulit sekali untuk memulai menulis. Banyak sekali hal yang dijadikan alasan untuk membenarkan menunda pekerjaan yang seharusnya dari awal sudah bisa dituntaskan. Tiap kali saya coba berkonsentrasi untuk kemudian duduk dengan diam dan tenang mengerjakan revisi tesis, tiap kali pula saya terdistraksi, seakan pikiran menolak mentah-mentah untuk menyelesaikannya. Kalau saja menulis revisi tesis semudah menulis potingan blog, pastilah barang laknat ini akan selesai dalam hitungan hari saja.

Sudah hampir sebulan saya di jakarta. 30 hari berlalu, 30 hari terbuang percuma. Teman-teman melalui postingan di berbagai social media mengindikasikan bahwa mereka terus bergerak maju. Sedangkan saya disini berusaha untuk menuntaskan hal remeh yang pastilah jika dibandingkan dengan beban pekerjaan rekan-rekan, tentulah barang ini tidak ada apa-apanya. Saya merasa kalah, saya merasa gagal. Bagaimana bisa beberapa lembar tulisan menahan saya hingga menjadi lumpuh tidak berdaya. Sigh.

Ini kebiasaan buruk. Ini tabiat yang tidak elok sama sekali. Menunda-nunda pekerjaan hingga menit-menit terakhir, lantas membabi buta mengerjakan dengan mengabaikan tujuan akhir penulisan; kesempurnaan.

Seharusnya ini mudah, seharusnya tidak demikian gampangnya saya menyerah. Pada keadaan yang melumpuhkan, mari melawan!

Rabu, 23 Oktober 2013

KESOMBONGAN MANUSIA



Nasrudin muncul di balairung istana dengan memakai turban indah untuk meminta sumbangan.
“kau datang ke sini meminta sumbangan, tapi kau memakai turban yang sangat mahal. Berapa harga turban indah itu” tanya Sultan.
“ini hadiah dari orang yang sangat kaya. Kalau tidak salah, harganya lima ratus koin emas,” jawab sufi bijak tersebut.
Patih yang berada di tempat itu bergumam: “Mustahil. Tidak ada turban yang harganya semahal itu”.
Nasrudin berkeras, “aku datang ke sini bukan hanya untuk meminta-minta. Aku datang ke sini untuk berbisnis.
Aku tahu hanya penguasa sejati yang sanggup membeli turban ini seharga enam ratus koin emas sehingga aku bisa memberikan kelebihannya pada orang miskin.”
Sang Sultan tersanjung dan membayar sejumlah uang yang Nasrudin minta. Di pintu keluar, Nasrudin berkata pada sang patih:
 “Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan manusia.”

Cerita di atas adalah potongan tulisan yang saya ambil dari buku Paulo Coelho yang berjudul The Winner Stands Alone. Sebuah buku yang mengisahkan tentang seorang Igor, pengusaha kaya raya asal Rusia yang berusaha mendapatkan kembali istrinya, cintanya yang pergi bersama lelaki lain. Namun tulisan ini tidak membahas tentang buku tersebut, saya lebih tertarik membahas tentang penggalan cerita yang saya sampaikan di awal, terutama pada kalimat akhir: “Kau mungkin tahu harga sebuah turban, tapi aku tahu seberapa dahsyat dampak kesombongan manusia.”
Benar. Bahwa kesombongan manusia tanpa disadari telah membawa umat manusia ke banyak hal yang sudah tidak lagi dapat dicerna oleh logika. Kesombongan manusia telah mengubah orang-orang yang mematuhinya menjadi budak dunia, menjadi kanker bagi kehidupan lingkungannya, dan perlahan memakan dirinya sendiri, membunuh jati diri manusia yang sesungguhnya.
Saya berikan analogi sederhana dan mirip dengan kisah diatas. Berapa banyak diantara kita yang membeli pakaian, bukan merk? Adakah diantara kita yang benar-benar membeli baju hanya karena menyukainya, bukan karena embel-embel label yang melekat bersamanya?
Kesombongan telah menelan kita. Ia menjelma nyata melalui sepotong baju berbahan dasar kapas yang kita kenakan, namun karena bertuliskan merk terkemuka, ada yang rela merogoh kocek dalam-dalam, demi mengenakan label tersebut. Padahal ia tahu persis, bahwa baju mahal yang ia beli tersebut kualitasnya tidak lebih baik dari label yang menjual produknya dengan harga setengah lebih murah.
Mau contoh lebih konkrit lagi? Baik, akan saya berikan. Sebutlah sebuah perusahaan telepon genggam. Baru-baru ini mereka mengeluarkan varian produk terbarunya yang berlapis ermas dan bermandikan permata dengan banderol Rp.450.000.000. sebuah angka yang amat fantastis untuk sebuah alat komunikasi, bukan? Padahal dari segi pengaplikasian teknologi tidak ada yang spesial, bahkan sangat tidak sebanding dengan HP teranyar besutan Apple sekalipun. Tidak memiliki retina display, kamera belakang 8MP, depan 2MP, serta tidak pula memiliki layar sentuh. Menyedihkan. Lantas apa yang membuat produsen HP mewah tersebut amat yakin produknya akan laku di pasaran –sebagaimana yang terjadi selama ini-?
Sekali lagi, kesombongan. Produsen tahu benar dampak dahsyat dari perasaan sombong. dengan membubuhkan kalimat bahwa ponsel tersebut dibuat terbatas dan handmade, ia mengusik perasaan angkuh dan sombong para kaum milyarder untuk memiliki produk terbarunya. Mereka yang sudah tidak lagi tahu dikemanakan lagi uangnya, akan berusaha untuk mendapatkan pengakuan dan eksistensi dari lingkungan.
Maka disinilah merk-merk mahal dan barang-barang dengan harga tidak masuk akal sebagaimana HP (atau mungkin baju yang kamu kenakan sekarang!) tersbut mulai menunjukkan taring. Pangsa pasar barang-barang seperti ini memang tidak luas, sebab tingginya harga sudah mengeliminasi calon peminat. Lantas ketika harga tidak lagi menjadi masalah, dan kecanggihan teknologi tidak bisa mereka (produsen) andalkan, lalu apa nilai jualnya? Benar. Kesombongan. (ah, bahkan saya harus mengucap kata ini berkali-kali)
Mereka yang membeli produk tersebut seakan juga telah memiliki tiket, karcis, hak sepenuhnya untuk berlaku sombong, arogan dan angkuh karena mampu membeli barang yang orang lain bahkan tidak berani bermimpi untuk memilikinya. Para konsumen dari barang-barang mewah tersebut seakan juga telah mengklasifikasikan dirinya ke dalam orang-orang ekslusif, memiliki derajat lebih tinggi dari kaum manapun. Perasaan inilah yang sesungguhnya priceless, dan mereka tanpa sadar telah menghamburkan ratusan lembar uangnya hanya demi eksistensi semu belaka.
Ya, semu. Karena pada masa yang terus berputar, musim yang selalu berganti, zaman yang terus berubah, maka definisi eksistensi yang berkembang di masyarakat juga ikut berubah. Bisa saja di zaman dahulu kala, memiliki puluhan ternak sapi adalah lambang kekayaan dan penegasan eksistensi di masyarakat. Namun lihat sekarang, definisi kaya menjadi sangat relatif. Namun seakan ingin menyeragamkan kekayaan, hukum ekonomi menciptakan uang. Sebuah tolak ukur atas berapa pundi-pundi harta yang kau punya.

Karena Tuhan memiliki segalanya, maka hanya Ia pemilik sifat sombong. Kini, manusia mencoba membelinya.

Selasa, 22 Oktober 2013

jilbab, sampah, dan pemikiran sederhana tentangnya.

Alhamdulillah akhirnya saya berkesempatan mengikuti kursus bahasa inggris untuk persiapan tes Toefl yang diselenggarakan oleh E.F. Setelah cukup lama menunggu pendaftarannya dibuka (konon karena harus diseleksi dan tidak semua yang mengikuti tes bisa lolos), kini setiap senin, rabu dan jumat pada pukul 18.30 hingga 20.30 WIB saya dapat mengasah kemampuan berbahasa inggris saya langsung dengan native speaker, atau tutor/pengajar yang memang orang inggris tulen.

setelah sempat beberapa pertemuan sebelumnya saya tidak hadir karena merayakan hari idul adha di kampung halaman, tadi malam saya kembali mengikuti kursus tersebut. cukup canggung, karena ini baru kali kedua saya masuk. sang dosen bertanya, "where have you been?" "i went to my hometown sir". sesederhana itu, dan beliau tidak bertanya lebih jauh lagi.

perkuliahan berlanjut seperti biasa. kali ini membahas bagaimana melewati tes menulis essai dan mendapat skor tinggi pada tes Toefl nanti. tema diskusi kami bergulir dengan bebas, hingga tibalah pada satu pokok pembahasan tentang masalah kebersihan jakarta yang harus segera diatasi. nah, disinilah pembahasan semakin menarik.

tutor saya menyampaikan, pada suatu ketika ia (yang bernama phil collins) berekreasi bersama keluarganya ke kebun binatang ragunan. beliau yang memang lahir, tumbuh dan besar di negara maju, merasa miris mendapati kenyataan pada salah satu kebun binatang terbesar di negara kita. sampah yang berserakan dimana-mana, tong sampah yang sulit ditemui, hingga penataan dan perawatan penghuni kebun binatang yang terkesan asal-asalan, membuat selera rekreasinya mendadak hilang. yang semakin membuat ia bersedih hati dan kesal adalah, saat warga negara asing dan umat kristiani seperti beliau harus menyaksikan wanita indonesia yang berjilbab membuang sampah sembarangan. bukan pula sembarangan, tapi membuang bungkusan plastik bekas makanannya ke dalam kandang buaya lebih tepatnya.

"sebuah ironi", ujar beliau.
"saya pernah mendengar ajaran dari islam yang mengatakan bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. namun ketika ajaran tersebut urung dilaksanakan bahkan oleh seorang wanita yang berjilbab-yang menegaskan bahwa dia pastilah seorang muslimah, saya bingung harus bereaksi seperti apa. logika macam apa yang ia gunakan, hingga dengan demikian ringan tangannya membuang sampah plastik bekas bungkusan makanannya ke kandang buaya?! tidakkah ia tahu bahwa buaya hewan karnivor?!" ucapnya dengan mimik muka serius.

setelah itu diskusi kami terus berlanjut, membahas apapun yang ditemui sehari-hari.

...
lama saya renungkan ocehan tutor tersebut. meski disampaikan dalam forum yang serius tapi santai, bahan pemikiran beliau tidak saya tanggapi enteng begitu saja. bahwa  negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, untuk menjaga separuh dari imannya saja ia tidak bisa. tentu saja pemikiran seperti ini cukup relevan jika dikaitkan dengan minimnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kebersihan, terutama tempat-tempat publik. apalagi jika kasus yang terjadi persis seperti apa yang beliau alami, maka saya sebagai umat islam merasa malu. sungguh, amat malu.

maka percayalah teman, banyak sekali hal-hal kecil yang terjadi di sekitar kita yang mungkin menurut pengamatan pribadi bukanlah hal besar, namun belum tentu berlaku seperti itu pada orang lain.

think about it.

Rabu, 12 Juni 2013

Aku dan rindu yang kian raksasa.

ini adalah puisi berbalas antara saya dengan luna. semampu kami untuk terus berkirim kabar. sederhana, hanya karena kami senang menulis dan membaca, dan berada pada langit yang sama. selamat menyelam, pembaca :)


Selamat siang, selasa.

Matahari sedang bersinar terik-teriknya. Seperti rutinitas yang mulai dibiasakan. Selayaknya merindui tarian jemari milikmu, ah seyogyanya kau tahu.

Mungkin, tak ada yang lebih kau ketahui dariku selain hujan, petrichor, dan rindu. Terlalu lekat, sudah seperti identitasku. Atau jangan-jangan memang terpampang jelas di dahi berukuran lebih dari 4 centimeter ini?

Bagaimana dengan kerinduanmu? Masihkah ia menggebu? Ceritakan, ya ceritakan padaku tentang semua gulana yang menghadangmu. Kisahkan larik demi larik. Alunkan semua buncahan yang menggumpal dalam ruang bawah sadarmu. 

Senin, 10 Juni 2013

PERKARA MENIKAH

 



Jadi, tadi siang saya bertemu dengan rekan satu angkatan. Demi kemudahan dalam menuturkan kisah ini, mari kita memberinya nama afif, nama sebenarnya. Berperawakan sedang, berkumis dan berjanggut serta rajin saya temukan saban hari di mesjid, menjadikan beliau sosok yang dekat dengan agama, setidaknya di mata saya sepeti itu.

Dan layaknya siang-siang sebelumnya, dzuhur kali ini kembali saya bertemu beliau di mesjid kampus, tempat kami memang biasa menunaikan kewajiban pada tuhan. pertemuan saya dengannya pasti akan menarik, sebab selain bertukar pikiran tentang islam, saya hendak mengklarifikasi kabar gembira yang beredar tentang beliau.

“salamualaikum mas!” ucap saya penuh semangat.

“waalaikumsalam pak bos! Gimana kabarnya, sehat? Wuaduh, makin gagah aja jenengan” beliau membalas, sembari menjabat erat tangan saya.

“hahahaha. Mana ada, ente tuh yang makin ciamik. Mentang-mentang bentar lagi mau dinas malam, ga sempat sama sekali kabarin saya ya. Masa’ kabar sebaik itu saya malah dengar dari yogi, teman kita yang kerja di kemdagri?! Padahal kita satu kampus, hampir tiap hari ketemu. Parah ente cuk!” ujar saya bertubi-tubi.

Keragaman bahasa dalam komunikasi sehari-hari memang sudah semena-mena kami campuradukkan. Aksen palu, jawa, melayu, bahkan NTT sekalipun seenaknya saja ditabrakkan dengan halusnya sunda atau daerah lainnya. Ah, betapa saya bersyukur pernah mengenyam pendidikan di IPDN.

“Bukan begitu mas, masalahnya saya itu sekarang lagi pusing nih. Kelewat banyak yang mesti diurus. Yang gedunglah, undanganlah, surat cutilah, segala macem yang muter di kepala saya. Sekarang aja mestinya saya sudah cuti, tapi tetap disuruh masuk kantor, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Ini gara-gara doktrin lembaga, jadinya tugas negara lebih diutamakan dibanding urusan pribadi. Haduuh”. Meski terkesan mengeluh, tetap saja dengan pembawaan afif yang ceria, keluhannya terdengar tidak lebih dari sekedar guyon belaka, tentang betapa rumitnya mempersiapkan sebuah pernikahan.

Ya, afif akan segera menikah, menyusul beberapa rekan lain yang sudah melaksanakan kewajiban muslim tersebut.

“Iya sih mas. Makanya saya salut sama temen-temen seangkatan yang udah menikah. Mereka, termasuk juga sampean, berani mengambil langkah tersebut di saat seperti ini. Meskipun keadaan tiap orang berbeda-beda, tetap saja dengan golongan kita yang sama-sama IIIa, masih belum mampu menurut saya untuk menyewa gedung, catering, dan segala tetek bengek pernikahan. Perasaan pas zaman nabi, nikah ga gini-gini amat”

“Zaman nabi mah nikah gampang dan. Cukup modal penghulu. atau buat ngerayainnya, apa  yang ada, ya itu yang dipotong. Kalo adanya kambing ya kambing, kalo adanya ayam, ya  ayam yang disembelih. Zaman nabi saya juga yakin, mana ada pakai acara kirim-kirim  undangan segala. Nikah cukup dilaksanakan di mesjid, diumumkan melalui pengeras suara.  Itupun kalo ada speaker. Hahaha”

“Nah itu dia mas maksud saya. Nikah zaman sekarang banyak hal yang mesti  dipertimbangkan. Mana ada anak gadis di tahun 2013 ini yang mau dinikahi dengan ala  kadarnya. Okelah anaknya mau, tapi ibunya? Beeuh, jangan harap. Mintanya pasti acara  dilaksanakan di gedung. Pakai wedding organizer, seserahannya mesti yang komplit. Kadal dan biawak, sekalian sama pawangnya kalo perlu. Sial. Haha” timpal saya panjang lebar.

Bagi pria, atau khususnya bagi saya, pernikahan memang bukanlah perkara mudah. Ini tentang kewajiban, tentang banyak kepala yang harus didudukkan bersama, tentang dua keluarga yang akan berdiri sama rata dan rasa. Serta tentu saja, tentang pilihan hidup yang insya allah akan bersama selamanya.

Afif duduk menyila, memperbaiki posisi duduknya yang sedari tadi duduk selonjoran santai menikmati angin semilir. Cuaca jakarta cukup terik, saya yakin para tukang cuci bersuka cita hari ini.

“jadi begini wil. Islam berkata, menikah itu hanya butuh dua syarat. Mampu dan mau. Ada yang mau menikah, tetapi ia belum mampu. Entah itu secara fisik, ekonomi, atau hal lain. Contohnya kang asep, penjaga mesjid kita. Dia sudah sangat ingin menikah, tapi tidak juga terlaksana karena ia merasa belum memiliki cukup dana untuk melaksanakan resepsi ataupun menanggung hidup pasangannya"

"Ada pula yang mampu, tetapi tidak mau. Contohnya ga usah jauh-jauh, ya antum sendiri. Usia sudah matang, pendapatan sudah ada yang bisa diharapkan tiap bulan, pendidikan juga
mendukung, tapi belum mau menikah. Alasannya kenapa, tentu antum sendiri yang lebih tahu”. baiklah, pada titik ini, saya tertegun mendengar ucapan beliau.

“Apabila tidak bisa salah satu diantaranya, maka berpuasalah. Sebab perang yang sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu, dan puasa merupakan perisai kita
melindungi diri”. Duhai afif, andai saja ente tahu alasan kenapa saya belum menikah, mungkin ente akan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan; menunda pernikahan

“saya bukannya ga mau mas, tapi….banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Meskipun kata tuhan menikah membuka pintu rezeki, tetap saja untuk saat ini belum bisa. Namun satu hal, mungkin dalam waktu dekat ini saya akan segera memperjelas jodoh saya. Ada hal-hal berjauhan harus segera didekatkan, sebelum ia hilang dari pandangan”

“nah begitu! Jika memang yakin, kejar dan dapatkan. Namun jika ragu, segera tinggalkan. Allah pasti tunjukkan jalan terbaik kok untuk hambanya”

Saya pamit pada afif. Sebab perkara menikah ini benar-benar menguras hati, benar-benar membolak-balikkan kalkulasi. Dalam kepalanya, saya yakin dia sibuk dengan persiapan pernikahan yang kini menghitung hari.

Sedang dalam kepala saya, kamu sibuk berlarian memenuhi isi pikiran

Jakarta, 10 Juni 2013

Sabtu, 08 Juni 2013

malam kala kita terjaga


Teruntuk rahne, pemicu jari-jariku.

Ini surat pertamaku untukmu. Entah berapa masa lamanya kuhabiskan hanya untuk menguatkan hati mengirimkan barisan kata-kata ini. Jadi dengarkan baik-baik, aku tak begitu kuat untuk berteriak lantang, dekat padaku, kutuliskan padamu berbisik. Rahne, bacalah perlahan suratku. Agar debarku meresapi matamu. Aku tidak sanggup jika kesungguhan ini kau baca sesuka hati. Sebab lengkung hurufnya telah kuletakkan hati-hati sepenuh hati.

Bagaimana kabarmu di ibu kota rahne? Kudengar dari kicauanmu, jakarta membuatmu betah berlama-lama dengan macetnya. Doaku, semoga kau tidak berjodoh dengan supir taksi manapun yang kau tumpangi :p

Rahne, ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tentangmu, tentang pekerjaanmu, lingkar pertemanan, atau apapun yang melabeli hidupmu. Bahkan, aku ingin berkenalan dengan penguin yang kau pelihara di dalam kost. Masihkah ia menyeretmu pagi hari agar segera ke kamar mandi? Ah, kuharap suatu saat aku bisa menggantikannya :)

Telah setahun rasanya aksaramu mewarnai hidupku. Seperti pagi, hadirmu pada lini masa sesuatu yang pasti. Seperti pelangi, tulisanmu tak jemu kupandangi. Aku mulai terbiasa hidup bersisian dengan aksaramu ne. Aku terinspirasi, aku termotivasi, aku tercerahkan, aku kau ombang-ambingkan. Mungkin aku yang berlebih menilaimu, mungkin pula kau yang kurang menyadari kelebihanmu. Apapun itu, aku padamu! (dan charly ST-12 pun bernyanyi. hahaha)

Tanpa kau dan aku sadari, keterlibatanmu dalam hidupku semakin akut. Tulisanmu candu bagi jiwaku. Perlahan dan pasti, syarafku mulai sakau akan tulisan-tulisanmu. Kau penyeimbangku yang baru rahne. Kau lautan, dan aku tenggelam pada deras ombaknya……hingga drama malam itu mewujud nyata.

Tiada bisa aku tertidur, dan tak bisa pula terpejam kelopak mataku. Retinaku terpaku dilini masamu, dan aku kau hancurkan. Ya, itu saat kutahu hatimu, singgasana kepalamu, dijajah oleh seorang zarry. Apalah yang bisa aku lakukan. Mungkin selamanya aku fana untukmu, mungkin selamanya pula lengkung senyummu fatamorgana bagiku. Jika mengenalmu adalah kesalahan, abadilah aku menjadi murid paling bodoh.

Rahne, sedapat mungkin aku mengenyahkan perasaan ini. Semakin kucoba, semakin betah pula kau di hati berkuasa. Malam ketika (kukira) pipimu dibanjiri air mata, kucoba mengurasnya dengan remah-remah kata. Cuma ini yang dapat kuperbuat untukmu wanita berhati kuat. Tak henti-henti kukirimkan untaian kata barisan aksara. Agar kau sadari, ada aku yang tak ingin kau terluka oleh siapapun lagi.

Maka pahami ini duhai wanita terpuji yang pandai memuji. Jika suatu saat kesedihan bergelayut di pundakmu, bila kebahagiaan tak lagi menetap dihatimu, ingat-ingatlah aku yang siap mendengar celotehmu. Izinkan aku menjadi bagian hidupmu, walau hanya sekedar penonton setia, paling tidak aku hafal tiap detail kau bersandiwara. Meski hanya sebagai semak di ladang kata-katamu, paling tidak aku bersisian denganmu.
 Kau hutan belantara, aku tersesat di dalamnya.

Salam, @duniaksara

cintailah hujan

image

jika cinta adalah hujan, pastilah kau dan aku berada pada badai terdahsyat saat ini
cinta adalah hujan. hari mulai gerimis sayang, sebuah pelukan pasti akan menghangatkan

cinta adalah hujan. langitku mendung semenjak mengenalmu. sayang, mentari masih bersinar cerah di langit hatimu

jika cinta adalah hujan, haruskah aku mengeringkan samudera demi mengundang hujan?

cinta adalah hujan. sudahkah kau siapkan bejana? hanya untuk berjaga, bila nanti hujan tak turun lagi di langit hati.