Senin, 10 Juni 2013

PERKARA MENIKAH

 



Jadi, tadi siang saya bertemu dengan rekan satu angkatan. Demi kemudahan dalam menuturkan kisah ini, mari kita memberinya nama afif, nama sebenarnya. Berperawakan sedang, berkumis dan berjanggut serta rajin saya temukan saban hari di mesjid, menjadikan beliau sosok yang dekat dengan agama, setidaknya di mata saya sepeti itu.

Dan layaknya siang-siang sebelumnya, dzuhur kali ini kembali saya bertemu beliau di mesjid kampus, tempat kami memang biasa menunaikan kewajiban pada tuhan. pertemuan saya dengannya pasti akan menarik, sebab selain bertukar pikiran tentang islam, saya hendak mengklarifikasi kabar gembira yang beredar tentang beliau.

“salamualaikum mas!” ucap saya penuh semangat.

“waalaikumsalam pak bos! Gimana kabarnya, sehat? Wuaduh, makin gagah aja jenengan” beliau membalas, sembari menjabat erat tangan saya.

“hahahaha. Mana ada, ente tuh yang makin ciamik. Mentang-mentang bentar lagi mau dinas malam, ga sempat sama sekali kabarin saya ya. Masa’ kabar sebaik itu saya malah dengar dari yogi, teman kita yang kerja di kemdagri?! Padahal kita satu kampus, hampir tiap hari ketemu. Parah ente cuk!” ujar saya bertubi-tubi.

Keragaman bahasa dalam komunikasi sehari-hari memang sudah semena-mena kami campuradukkan. Aksen palu, jawa, melayu, bahkan NTT sekalipun seenaknya saja ditabrakkan dengan halusnya sunda atau daerah lainnya. Ah, betapa saya bersyukur pernah mengenyam pendidikan di IPDN.

“Bukan begitu mas, masalahnya saya itu sekarang lagi pusing nih. Kelewat banyak yang mesti diurus. Yang gedunglah, undanganlah, surat cutilah, segala macem yang muter di kepala saya. Sekarang aja mestinya saya sudah cuti, tapi tetap disuruh masuk kantor, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Ini gara-gara doktrin lembaga, jadinya tugas negara lebih diutamakan dibanding urusan pribadi. Haduuh”. Meski terkesan mengeluh, tetap saja dengan pembawaan afif yang ceria, keluhannya terdengar tidak lebih dari sekedar guyon belaka, tentang betapa rumitnya mempersiapkan sebuah pernikahan.

Ya, afif akan segera menikah, menyusul beberapa rekan lain yang sudah melaksanakan kewajiban muslim tersebut.

“Iya sih mas. Makanya saya salut sama temen-temen seangkatan yang udah menikah. Mereka, termasuk juga sampean, berani mengambil langkah tersebut di saat seperti ini. Meskipun keadaan tiap orang berbeda-beda, tetap saja dengan golongan kita yang sama-sama IIIa, masih belum mampu menurut saya untuk menyewa gedung, catering, dan segala tetek bengek pernikahan. Perasaan pas zaman nabi, nikah ga gini-gini amat”

“Zaman nabi mah nikah gampang dan. Cukup modal penghulu. atau buat ngerayainnya, apa  yang ada, ya itu yang dipotong. Kalo adanya kambing ya kambing, kalo adanya ayam, ya  ayam yang disembelih. Zaman nabi saya juga yakin, mana ada pakai acara kirim-kirim  undangan segala. Nikah cukup dilaksanakan di mesjid, diumumkan melalui pengeras suara.  Itupun kalo ada speaker. Hahaha”

“Nah itu dia mas maksud saya. Nikah zaman sekarang banyak hal yang mesti  dipertimbangkan. Mana ada anak gadis di tahun 2013 ini yang mau dinikahi dengan ala  kadarnya. Okelah anaknya mau, tapi ibunya? Beeuh, jangan harap. Mintanya pasti acara  dilaksanakan di gedung. Pakai wedding organizer, seserahannya mesti yang komplit. Kadal dan biawak, sekalian sama pawangnya kalo perlu. Sial. Haha” timpal saya panjang lebar.

Bagi pria, atau khususnya bagi saya, pernikahan memang bukanlah perkara mudah. Ini tentang kewajiban, tentang banyak kepala yang harus didudukkan bersama, tentang dua keluarga yang akan berdiri sama rata dan rasa. Serta tentu saja, tentang pilihan hidup yang insya allah akan bersama selamanya.

Afif duduk menyila, memperbaiki posisi duduknya yang sedari tadi duduk selonjoran santai menikmati angin semilir. Cuaca jakarta cukup terik, saya yakin para tukang cuci bersuka cita hari ini.

“jadi begini wil. Islam berkata, menikah itu hanya butuh dua syarat. Mampu dan mau. Ada yang mau menikah, tetapi ia belum mampu. Entah itu secara fisik, ekonomi, atau hal lain. Contohnya kang asep, penjaga mesjid kita. Dia sudah sangat ingin menikah, tapi tidak juga terlaksana karena ia merasa belum memiliki cukup dana untuk melaksanakan resepsi ataupun menanggung hidup pasangannya"

"Ada pula yang mampu, tetapi tidak mau. Contohnya ga usah jauh-jauh, ya antum sendiri. Usia sudah matang, pendapatan sudah ada yang bisa diharapkan tiap bulan, pendidikan juga
mendukung, tapi belum mau menikah. Alasannya kenapa, tentu antum sendiri yang lebih tahu”. baiklah, pada titik ini, saya tertegun mendengar ucapan beliau.

“Apabila tidak bisa salah satu diantaranya, maka berpuasalah. Sebab perang yang sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu, dan puasa merupakan perisai kita
melindungi diri”. Duhai afif, andai saja ente tahu alasan kenapa saya belum menikah, mungkin ente akan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan; menunda pernikahan

“saya bukannya ga mau mas, tapi….banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Meskipun kata tuhan menikah membuka pintu rezeki, tetap saja untuk saat ini belum bisa. Namun satu hal, mungkin dalam waktu dekat ini saya akan segera memperjelas jodoh saya. Ada hal-hal berjauhan harus segera didekatkan, sebelum ia hilang dari pandangan”

“nah begitu! Jika memang yakin, kejar dan dapatkan. Namun jika ragu, segera tinggalkan. Allah pasti tunjukkan jalan terbaik kok untuk hambanya”

Saya pamit pada afif. Sebab perkara menikah ini benar-benar menguras hati, benar-benar membolak-balikkan kalkulasi. Dalam kepalanya, saya yakin dia sibuk dengan persiapan pernikahan yang kini menghitung hari.

Sedang dalam kepala saya, kamu sibuk berlarian memenuhi isi pikiran

Jakarta, 10 Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar