Rabu, 12 Juni 2013

Aku dan rindu yang kian raksasa.

ini adalah puisi berbalas antara saya dengan luna. semampu kami untuk terus berkirim kabar. sederhana, hanya karena kami senang menulis dan membaca, dan berada pada langit yang sama. selamat menyelam, pembaca :)


Selamat siang, selasa.

Matahari sedang bersinar terik-teriknya. Seperti rutinitas yang mulai dibiasakan. Selayaknya merindui tarian jemari milikmu, ah seyogyanya kau tahu.

Mungkin, tak ada yang lebih kau ketahui dariku selain hujan, petrichor, dan rindu. Terlalu lekat, sudah seperti identitasku. Atau jangan-jangan memang terpampang jelas di dahi berukuran lebih dari 4 centimeter ini?

Bagaimana dengan kerinduanmu? Masihkah ia menggebu? Ceritakan, ya ceritakan padaku tentang semua gulana yang menghadangmu. Kisahkan larik demi larik. Alunkan semua buncahan yang menggumpal dalam ruang bawah sadarmu. 

Senin, 10 Juni 2013

PERKARA MENIKAH

 



Jadi, tadi siang saya bertemu dengan rekan satu angkatan. Demi kemudahan dalam menuturkan kisah ini, mari kita memberinya nama afif, nama sebenarnya. Berperawakan sedang, berkumis dan berjanggut serta rajin saya temukan saban hari di mesjid, menjadikan beliau sosok yang dekat dengan agama, setidaknya di mata saya sepeti itu.

Dan layaknya siang-siang sebelumnya, dzuhur kali ini kembali saya bertemu beliau di mesjid kampus, tempat kami memang biasa menunaikan kewajiban pada tuhan. pertemuan saya dengannya pasti akan menarik, sebab selain bertukar pikiran tentang islam, saya hendak mengklarifikasi kabar gembira yang beredar tentang beliau.

“salamualaikum mas!” ucap saya penuh semangat.

“waalaikumsalam pak bos! Gimana kabarnya, sehat? Wuaduh, makin gagah aja jenengan” beliau membalas, sembari menjabat erat tangan saya.

“hahahaha. Mana ada, ente tuh yang makin ciamik. Mentang-mentang bentar lagi mau dinas malam, ga sempat sama sekali kabarin saya ya. Masa’ kabar sebaik itu saya malah dengar dari yogi, teman kita yang kerja di kemdagri?! Padahal kita satu kampus, hampir tiap hari ketemu. Parah ente cuk!” ujar saya bertubi-tubi.

Keragaman bahasa dalam komunikasi sehari-hari memang sudah semena-mena kami campuradukkan. Aksen palu, jawa, melayu, bahkan NTT sekalipun seenaknya saja ditabrakkan dengan halusnya sunda atau daerah lainnya. Ah, betapa saya bersyukur pernah mengenyam pendidikan di IPDN.

“Bukan begitu mas, masalahnya saya itu sekarang lagi pusing nih. Kelewat banyak yang mesti diurus. Yang gedunglah, undanganlah, surat cutilah, segala macem yang muter di kepala saya. Sekarang aja mestinya saya sudah cuti, tapi tetap disuruh masuk kantor, masih ada kerjaan yang harus diselesaikan. Ini gara-gara doktrin lembaga, jadinya tugas negara lebih diutamakan dibanding urusan pribadi. Haduuh”. Meski terkesan mengeluh, tetap saja dengan pembawaan afif yang ceria, keluhannya terdengar tidak lebih dari sekedar guyon belaka, tentang betapa rumitnya mempersiapkan sebuah pernikahan.

Ya, afif akan segera menikah, menyusul beberapa rekan lain yang sudah melaksanakan kewajiban muslim tersebut.

“Iya sih mas. Makanya saya salut sama temen-temen seangkatan yang udah menikah. Mereka, termasuk juga sampean, berani mengambil langkah tersebut di saat seperti ini. Meskipun keadaan tiap orang berbeda-beda, tetap saja dengan golongan kita yang sama-sama IIIa, masih belum mampu menurut saya untuk menyewa gedung, catering, dan segala tetek bengek pernikahan. Perasaan pas zaman nabi, nikah ga gini-gini amat”

“Zaman nabi mah nikah gampang dan. Cukup modal penghulu. atau buat ngerayainnya, apa  yang ada, ya itu yang dipotong. Kalo adanya kambing ya kambing, kalo adanya ayam, ya  ayam yang disembelih. Zaman nabi saya juga yakin, mana ada pakai acara kirim-kirim  undangan segala. Nikah cukup dilaksanakan di mesjid, diumumkan melalui pengeras suara.  Itupun kalo ada speaker. Hahaha”

“Nah itu dia mas maksud saya. Nikah zaman sekarang banyak hal yang mesti  dipertimbangkan. Mana ada anak gadis di tahun 2013 ini yang mau dinikahi dengan ala  kadarnya. Okelah anaknya mau, tapi ibunya? Beeuh, jangan harap. Mintanya pasti acara  dilaksanakan di gedung. Pakai wedding organizer, seserahannya mesti yang komplit. Kadal dan biawak, sekalian sama pawangnya kalo perlu. Sial. Haha” timpal saya panjang lebar.

Bagi pria, atau khususnya bagi saya, pernikahan memang bukanlah perkara mudah. Ini tentang kewajiban, tentang banyak kepala yang harus didudukkan bersama, tentang dua keluarga yang akan berdiri sama rata dan rasa. Serta tentu saja, tentang pilihan hidup yang insya allah akan bersama selamanya.

Afif duduk menyila, memperbaiki posisi duduknya yang sedari tadi duduk selonjoran santai menikmati angin semilir. Cuaca jakarta cukup terik, saya yakin para tukang cuci bersuka cita hari ini.

“jadi begini wil. Islam berkata, menikah itu hanya butuh dua syarat. Mampu dan mau. Ada yang mau menikah, tetapi ia belum mampu. Entah itu secara fisik, ekonomi, atau hal lain. Contohnya kang asep, penjaga mesjid kita. Dia sudah sangat ingin menikah, tapi tidak juga terlaksana karena ia merasa belum memiliki cukup dana untuk melaksanakan resepsi ataupun menanggung hidup pasangannya"

"Ada pula yang mampu, tetapi tidak mau. Contohnya ga usah jauh-jauh, ya antum sendiri. Usia sudah matang, pendapatan sudah ada yang bisa diharapkan tiap bulan, pendidikan juga
mendukung, tapi belum mau menikah. Alasannya kenapa, tentu antum sendiri yang lebih tahu”. baiklah, pada titik ini, saya tertegun mendengar ucapan beliau.

“Apabila tidak bisa salah satu diantaranya, maka berpuasalah. Sebab perang yang sesungguhnya adalah perang melawan hawa nafsu, dan puasa merupakan perisai kita
melindungi diri”. Duhai afif, andai saja ente tahu alasan kenapa saya belum menikah, mungkin ente akan melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan; menunda pernikahan

“saya bukannya ga mau mas, tapi….banyak hal yang harus saya pertimbangkan. Meskipun kata tuhan menikah membuka pintu rezeki, tetap saja untuk saat ini belum bisa. Namun satu hal, mungkin dalam waktu dekat ini saya akan segera memperjelas jodoh saya. Ada hal-hal berjauhan harus segera didekatkan, sebelum ia hilang dari pandangan”

“nah begitu! Jika memang yakin, kejar dan dapatkan. Namun jika ragu, segera tinggalkan. Allah pasti tunjukkan jalan terbaik kok untuk hambanya”

Saya pamit pada afif. Sebab perkara menikah ini benar-benar menguras hati, benar-benar membolak-balikkan kalkulasi. Dalam kepalanya, saya yakin dia sibuk dengan persiapan pernikahan yang kini menghitung hari.

Sedang dalam kepala saya, kamu sibuk berlarian memenuhi isi pikiran

Jakarta, 10 Juni 2013

Sabtu, 08 Juni 2013

malam kala kita terjaga


Teruntuk rahne, pemicu jari-jariku.

Ini surat pertamaku untukmu. Entah berapa masa lamanya kuhabiskan hanya untuk menguatkan hati mengirimkan barisan kata-kata ini. Jadi dengarkan baik-baik, aku tak begitu kuat untuk berteriak lantang, dekat padaku, kutuliskan padamu berbisik. Rahne, bacalah perlahan suratku. Agar debarku meresapi matamu. Aku tidak sanggup jika kesungguhan ini kau baca sesuka hati. Sebab lengkung hurufnya telah kuletakkan hati-hati sepenuh hati.

Bagaimana kabarmu di ibu kota rahne? Kudengar dari kicauanmu, jakarta membuatmu betah berlama-lama dengan macetnya. Doaku, semoga kau tidak berjodoh dengan supir taksi manapun yang kau tumpangi :p

Rahne, ada banyak hal yang ingin kutanyakan. Tentangmu, tentang pekerjaanmu, lingkar pertemanan, atau apapun yang melabeli hidupmu. Bahkan, aku ingin berkenalan dengan penguin yang kau pelihara di dalam kost. Masihkah ia menyeretmu pagi hari agar segera ke kamar mandi? Ah, kuharap suatu saat aku bisa menggantikannya :)

Telah setahun rasanya aksaramu mewarnai hidupku. Seperti pagi, hadirmu pada lini masa sesuatu yang pasti. Seperti pelangi, tulisanmu tak jemu kupandangi. Aku mulai terbiasa hidup bersisian dengan aksaramu ne. Aku terinspirasi, aku termotivasi, aku tercerahkan, aku kau ombang-ambingkan. Mungkin aku yang berlebih menilaimu, mungkin pula kau yang kurang menyadari kelebihanmu. Apapun itu, aku padamu! (dan charly ST-12 pun bernyanyi. hahaha)

Tanpa kau dan aku sadari, keterlibatanmu dalam hidupku semakin akut. Tulisanmu candu bagi jiwaku. Perlahan dan pasti, syarafku mulai sakau akan tulisan-tulisanmu. Kau penyeimbangku yang baru rahne. Kau lautan, dan aku tenggelam pada deras ombaknya……hingga drama malam itu mewujud nyata.

Tiada bisa aku tertidur, dan tak bisa pula terpejam kelopak mataku. Retinaku terpaku dilini masamu, dan aku kau hancurkan. Ya, itu saat kutahu hatimu, singgasana kepalamu, dijajah oleh seorang zarry. Apalah yang bisa aku lakukan. Mungkin selamanya aku fana untukmu, mungkin selamanya pula lengkung senyummu fatamorgana bagiku. Jika mengenalmu adalah kesalahan, abadilah aku menjadi murid paling bodoh.

Rahne, sedapat mungkin aku mengenyahkan perasaan ini. Semakin kucoba, semakin betah pula kau di hati berkuasa. Malam ketika (kukira) pipimu dibanjiri air mata, kucoba mengurasnya dengan remah-remah kata. Cuma ini yang dapat kuperbuat untukmu wanita berhati kuat. Tak henti-henti kukirimkan untaian kata barisan aksara. Agar kau sadari, ada aku yang tak ingin kau terluka oleh siapapun lagi.

Maka pahami ini duhai wanita terpuji yang pandai memuji. Jika suatu saat kesedihan bergelayut di pundakmu, bila kebahagiaan tak lagi menetap dihatimu, ingat-ingatlah aku yang siap mendengar celotehmu. Izinkan aku menjadi bagian hidupmu, walau hanya sekedar penonton setia, paling tidak aku hafal tiap detail kau bersandiwara. Meski hanya sebagai semak di ladang kata-katamu, paling tidak aku bersisian denganmu.
 Kau hutan belantara, aku tersesat di dalamnya.

Salam, @duniaksara

cintailah hujan

image

jika cinta adalah hujan, pastilah kau dan aku berada pada badai terdahsyat saat ini
cinta adalah hujan. hari mulai gerimis sayang, sebuah pelukan pasti akan menghangatkan

cinta adalah hujan. langitku mendung semenjak mengenalmu. sayang, mentari masih bersinar cerah di langit hatimu

jika cinta adalah hujan, haruskah aku mengeringkan samudera demi mengundang hujan?

cinta adalah hujan. sudahkah kau siapkan bejana? hanya untuk berjaga, bila nanti hujan tak turun lagi di langit hati.

aku belum sempat memberi judul



Hmpft. Beberapa hari terakhir, yang jika diterjemahkan dalam skala waktu berarti dua sampai dengan tiga minggu yang lalu hingga saat ini, aku mengalami kegelisahan yang mendalam nona. Dua tiga minggu terakhir banyak hal berkelebat, melesat cepat mempecundangi waktu.

Jadi begini nona, sebelum pilpres terlaksana, sebelum presiden kita dianugerahi penghargaan yang lebih aneh lagi, aku ingin meminta maafmu. Ya, bukan satu maaf, tapi empat, lima, atau berapapun yang aku butuhkan, tergantung aku merunut kesalahan. Kau mungkin saja berpikir, “ah, apa-apaan ini si wildan. Datang tiba-tiba, minta maaf suka-suka. Situ kira maaf saya tidak ada harga?! Cih!”. Jika kau benar mengatakan itu, kuharap bibirmu tidak cukup maju hingga sanggup aku berjalan diatasnya untuk kemudian mendarat di pelukanmu

Kesalahan pertama: Aku tidak menepati janji.

Ini adalah kesalahan fatal. Sefatal PKS yang masih saja mengaku partai bersih. Sefatal SBY yang memilih merilis akun facebook, dan sefatal…..ah, yang jelas bagiku ini kesalahan yang anfal. Pada gerbang internet kita sudah berjanji mengikat diri, akan membuat tradisi yang kelak kita isi dengan tulisan-tulisan penuh imaji. Tapi lihat, baru satu dua surat saja aku sudah tidak kuat. Seharusnya aku belajar push up jari pada roy suryo. (jangan tanya kenapa harus roy suryo, pokoknya jangan). Untuk salahku yang pertama, maafmu kuminta satu.

 Kesalahan kedua: aku menuduh si “sibuk”

Entah berapa kali aku mengkambinghitamkan pak sibuk dan keluarganya atas ketidaktepatanku memenuhi janji padamu. Dan, entah berapa kambing yang aku hitamkan demi mendapat pengecualian atas keterlambatanku menulis. Seharusnya aku sepertimu, tetap menulis meski kegiatan perlahan membunuh kreatifitas. Atas kesibukanku menuduh sibuk, kali kedua aku meminta maafmu.
Kesalahan ketiga: aku membeli playstation.

Harusnya aku menempatkan ini pada posisi kesalahan pertama dan yang utama. Kau tahu, semenjak aku membeli console game sialan ini, jariku bukannya semakin lincah menari, malah mereka kini sibuk menekan tombol bersimbol bangun segi empat, tiga, lingkaran, serta sederet penunjuk arah itu. Seakan tidak mau lepas, seharian mataku sanggup terjaga menyaksikan permainan bola apik khas PS3. Dengan ini, resmi sudah kuminta maafmu yang ketiga.

Waktuku 24 jam sehari. Tapi entah kenapa aku menyelesaikan tulisan ini seperti pecundang. Sebab itu, ajari aku untuk sepertimu.

Jangan lelah mengingatkanku. Jangan letih memburuku dalam tenggat waktu. Aku perlu itu, agar aku tetap sadar, bahwa ada yang menunggu tulisanku.
P.S: aku menulis ini dalam perasaan yang tidak keruan. Di masa berikutnya akan aku ceritakan ;)

balerina dan pria yang sulit menulis

Image
 
Baiklah, harus kita mulai dari mana tulisan ini. Layaknya tulisan yang lahir dari jemari pemula lainnya, aku ingin tarian kata-kataku dapat terus menyekap matamu, hingga kemudian kau tidak punya waktu untuk mengalihkan pandangan, sebab kau tidak ingin melewatkan satu tarianpun dari ritme hentakan kata-kataku
 
Kerap aku membayangkan kata-kata adalah penari balet. Dan buku, yang dapat diterjemahkan dalam bentuk apapun itu, adalah panggung tempat mereka menarikan kaki-kaki mungilnya. Mungkin ini terlalu berlebihan, tapi tidak jika pementasan yang kami, aku dan penariku yang lincah, digelar dan mendapat sorotan banyak kamera. Ini semacam perasaan buku yang terpajang pada leret terlaris di toko buku besar; mencengangkan.

Kata-kataku adalah balerina, dua puluh enam jumlahnya. Amat banyak, tak heran mereka mampu menyusun ratusan formasi, bahkan ribuan. Ah, aku bahkan tak hafal dan kenal tiap formasi yang mereka bentuk. Pernah satu waktu mereka menari tanpa henti selama dua jam. Kala itu kunamai formasinya sebagai “tarian ujian semester”. Ritmenya amat sulit, berkali-kali aku melihat mereka berhenti. Entah itu hanya untuk sekedar beristirahat, atau jangan-jangan balerinaku malah tidak hafal dengan tariannya sendiri. Benar-benar dua jam yang menguras tenaga kala itu.
 
Ada pula suatu ketika mereka berdansa dengan berjinjit. Berlari-lari kecil, seakan badannya ringan, seringan daun jatuh yang tidak pernah membenci angin kata tere liye. Sebahagia dahan yang menyambut mentari pagi, dan selega hati yang rindunya terlunaskan. (untuk kalimat yang terakhir, anggap saja kau tidak membacanya)
 
Jinjit kecil mereka sering kupentaskan. Kami paling sering mementaskan “formasi jinjit kecil” ini (begitu aku menyebutnya) di panggung bernama twitter, alamatnya tidak jauh dari gerbang internet. Di twitter, mereka menari sesukanya. Tentu saja aku sudah melatih mereka sedemikian rupa agar penampilan kami dapat mengesankan yang menjadi saksi mata.
 
Luna, lain masa aku akan mengajakmu mengenal mereka satu persatu. Lain masa pula, akan kuceritakan banyak tentang mereka. Ini semacam perasa awal, agar kau mau sesekali mengingatkanku, bahwa ada kamu yang setia menyaksikan tarianku.

Hormatku, pria yang kesulitan menulis 

kita dan percakapan yang tersimpan

Image

Ketakutan terbesarku adalah, ketika apa yang selama ini aku inginkan, yang selama ini aku gumamkan, sekonyong-konyong menjadi nyata disaat aku belum mempersiapkan apa-apa menyambutnya. Saat itu benar terjadi, runtuhlah khayalan tentang pendambaan.

Ampuni aku yang sulit menepati janji. Bukan karena aku tidak mampu, hanya saja janji yang kupatrikan kepadamu sengaja kutaruh demikian tinggi, hingga untuk menggapainya aku harus berusaha lebih dari yang diminta. Kini, demi telinga yang menempel bersisian dengan matamu, dengarkan aku menulis bait-bait ini, agar sedikit terobati kerinduan yang terlanjur menahun. Aku berada pada bait pertama, kau yang kedua. kita bergantian, menciptakan percakapan

Aku sudah meninggikanmu, jauh sebelum kau jatuh meninggalkanku.

Langit rindu kini kelam, semesta yang tak berbintang. Aku dan kenangan, dalam diam tanpa harapan; kembali untukmu.

Jika kau kembali, maukah kau untuk tidak pergi lagi? jika kau hadir lagi, berjanjilah hadir di setiap pagi.

Disetiap pagi, aku harap itu pintamu, yang jatuh tepat di pelupuk mata, berdampingan dengan butiran doa kita.

Disetiap malam, ada yang berbisik mengidamkanmu. dan itu aku, meracau demi menunggu kau dan aku kembali bertemu.

Malam tanpa kegelapan, sepi tanpa keheningan, sunyi tanpa kebisuan, disitu aku terdampar sendiri, menapaki rindu yang gelap.

Ketika terang tanpa pagi, saat hiruk-pikuk tanpa kericuhan, maka hanya bersamamu aku merasa waras. meski dunia tertawa

Tak apa aku mengeja cintamu dalam gelap. sebab terang terlalu gemerlap. telah cukup buta aku, kau tak perlu tahu.

Ketidaktahuanku semoga menyelamatkan kita. ketahuilah, ada aku yang meski tidak tahu segala tentangmu, setia untukmu

Malam diselimuti kenangan. Aku terpojok di sudut kerinduan; kuhanya bisa berharap pada Janji Tuhan, pada janjimu juga.

Perihal rindu, cinta, dan sayap-sayap doa yang mengangkasa kala sujud menghunus bumi, izinkan mereka tetap ada diantara kita.

Ya Tuhan, maafkan aku yg masih saja menyebut nama selainmu dalam doaku. Karena mencintainya adalah wujud kesombonganku yg baru.

Boleh saja kau sombong atas ia yang kau miliki. tetapi ingat, aku bersekutu dengan tuhan demi merebutmu dari tangannya.

Jika aku berhasil direbut, itulah pengorbanan paling suci diantara samudera luka, seperti kisah penyaliban Tuhan dibukit Golgota

Aku tidak ingin mendiktemu Tuhan. tapi kali ini, aku memaksamu untuk mengaminkan pinta, tentang aku dan wanita yang aku cinta.

Pertemuanmu denganku adalah skenario Tuhan, kau hanya perlu berimprovisasi dengan suka dan luka.

Semoga ketika waktu yang menghalangi mata kita berbicara kau buka, ada aku sebagai satu-satunya pria di jendela hati.

Tuhan, Dua hal yg belum aku mengerti di dunia ini; Pria dan Jatuh cinta. Kenapa ia harus berada di jendela, jika pintu terbuka?

ah, andaikan saja kau disini. aku ingin melafadzkannya dekat denganmu, sehasta. agar nafasku bertukar resahmu. agar paru-paruku menghirup uap tubuhmu.

Jakarta, pada malam yang seperti biasanya.